Senin, 07 Juli 2014

Perbatasan, Tak Kenal Maka Tak Perhatian

Perbatasan, Tak Kenal Maka Tak Perhatian


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau dengan garis pantai sekitar 81.000 km serta wilayah lautnya yang mencapai 5,8 juta km2 atau sekitar 70% dari luas total wilayah Indonesia. Luasnya wilayah kedaulatan NKRI baik darat maupun laut merupakan sebuah modal besar guna peningkatan kesejahteraan masyarakatnya serta daya saing bangsa di dunia Internasional. Namun di sisi lain, luasnya wilayah ini memiliki polemik tersendiri, salah satunya adalah kesulitan melakukan pembangunan secara merata di seluruh wilayah Indonesia.


Bangsa Indonesia pernah menelan pil pahit ketika harus melepaskan dua pulau cantik yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah ruah yaitu Sipadan dan Ligitan. ‘sesuatu akan terasa berharga, ketika kita sudah kehilangannya’, mungkin kata-kata yang sering kita dengar ini terasa tepat untuk menggambarkan perasaan bangsa Indonesia ketika harus kehilangan Sipadan dan Ligitan. Pindahnya hak kepemilikan dua pulau ini ke tangan Malaysia didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional dengan pertimbangan tiga aspek utama yakni, keberadaan secara terus menerus (continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation)[1] yang telah dilakukan oleh pemerintah Malaysia, hal ini terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap Sipadan dan Ligitan.

Lepasnya Sipadan dan Ligitan merupakan pembelajaran yang amat penting dalam menjaga kedaulatan NKRI. Jangan sampai bangsa kita mengulang kesalahan yang sama dan membiarkan daerah-daerah potensial di Indonesia dikuasai dan diolah oleh negara lain. Pembangunan nasional secara adil dan merata memang tidak mudah dilakukan di Indonesia, mengingat struktur geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau –termasuk pulau kecil dan terpencil- yang tingkat aksesbilitasnya sangat rendah, sehingga sulit untuk dilakukan pembangunan.

Pulau-pulau terdepan dan perbatasan di Indonesia yang berjumlah 92 pulau memiliki nilai strategis secara politik, ekonomi, geografi maupun sosial-budaya, selain itu masyarakat di wilayah perbatasan mengemban beban yang cukup berat, yaitu mempertahankan daerahnya agar tetap satu dalam naungan NKRI. Mereka yang tinggal di wilayah perbatasan cenderung menggantungkan kehidupannya di negara tetangga yang berbatasan dengan wilayah tempat tinggal mereka. Apabila hal ini terus menerus dibiarkan maka jangan heran apabila nantinya akan terjadi pengulangan pengalaman pahit seperti Sipadan dan Ligitan, yang dapat menggoyahkan ketahanan dan integritas nasional. Lalu apa yang dapat dilakukan agar kekhawatiran-kekhawatiran ini jangan sampai terjadi?

Hal yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah membangkitkan kesadaran dalam diri masing-masing masyarakat Indonesia, bahwa kita memiliki keluarga di wilayah perbatasan. Timbulnya kesadaran ini diharapkan akan diikuti dengan meningkatnya perhatian terhadap wilayah perbatasan dan mendorong adanya gerakan nyata untuk membangun Indonesia melalui beranda terdepannya. Salah satu upaya agar timbulnya kesadaran ini adalah dengan mengenal wilayah perbatasan melalui film dokumenter yang diproduksi oleh Indonesia Maritime Institute (IMI) berjudul “Jurnal dari Pulau Terluar”, yang mengangkat kondisi di Pulau Marore, Sulawesi Utara, yang berbatasan dengan negara Filipina.

Dalam film ini kita akan melihat, sesungguhnya terdapat banyak fasilitas dan sarana yang telah dibangun untuk menunjang kehidupan perekonomian di Marore. Namun sayangnya, fasilitas dan sarana tersebut tidak terpakai secara maksimal dan sebagian telah rusak, salah satunya adalah pelabuhan. Konstruksi pelabuhan merupakan kunci utama untuk melakukan aktivitas di Marore. Kondisi pelabuhan yang tidak maksimal menyebabkan mobilitas penduduk terbatas dan jadwal kapal seringkali tidak menentu, sering terjadi kekosongan jadwal pelayaran, yang menyebabkan terhambatnya proses distribusi dan aktivitas perekonomian warga setempat. Kondisi pasar tradisional sepi, masyarakat cenderung memenuhi kebutuhan sehari-hari dari warung-warung kecil yang hampir di dominasi oleh produk-produk dari Filipina. Belum ada perjanjian khusus yang mengatur perdagangan antara wilayah border crossing area Indonesia – Filipina, namun apabila merujuk pada peraturan kepabeanan seharusnya barang yang masuk tanpa pencatatan yang jelas dianggap ilegal. Longgarnya pengawasan terhadap barang yang keluar masuk tercermin dari kantor bea cukai yang kosong. Kita tidak boleh mempersalahkan warga setempat yang menggantungkan kehidupannya pada produk negara tetangga, ini harus menjadi bahan introspeksi bagi diri kita sendiri dan pemerintah. Sudahkah kita menyadari dan memperhatikan kehidupan keluarga kita di wilayah perbatasan? Sudahkah terwujudnya sila ke-5 Pancasila, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”?

Tidak hanya realita perekonomian, dalam film ini kita juga dapat melihat bagaimana TNI bertugas di garda perbatasan, kondisi terumbu karang dan sumber daya alam yang belum terolah dengan baik, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan di Marore.

Setelah menonton dan berdiskusi mengenai film ini, diharapkan kemudian akan timbul kesadaran dan perhatian lebih dalam diri ‘kita’ terhadap wilayah perbatasan NKRI yang dapat mendorong aksi nyata untuk melakukan pembangunan di garda terdepan Nusantara. (LHK – Komunitas Sabantara)




[1] http://www.pdfqueen.com/pdf/pu/pulau-pulau-kecil-terluar/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar