Perbatasan,
Tak Kenal Maka Tak Perhatian
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau
dengan garis pantai sekitar 81.000 km serta wilayah lautnya yang mencapai 5,8
juta km2 atau sekitar 70% dari luas total wilayah Indonesia.
Luasnya wilayah kedaulatan NKRI baik darat maupun laut merupakan sebuah modal
besar guna peningkatan kesejahteraan masyarakatnya serta daya saing bangsa di
dunia Internasional. Namun di sisi lain, luasnya wilayah ini memiliki polemik tersendiri,
salah satunya adalah kesulitan melakukan pembangunan secara merata di seluruh
wilayah Indonesia.
Bangsa
Indonesia pernah menelan pil pahit ketika harus melepaskan dua pulau cantik
yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah ruah yaitu Sipadan dan Ligitan. ‘sesuatu
akan terasa berharga, ketika kita sudah kehilangannya’, mungkin kata-kata
yang sering kita dengar ini terasa tepat untuk menggambarkan perasaan bangsa
Indonesia ketika harus kehilangan Sipadan dan Ligitan. Pindahnya hak
kepemilikan dua pulau ini ke tangan Malaysia didasarkan atas keputusan Mahkamah
Internasional dengan pertimbangan tiga aspek utama yakni, keberadaan secara
terus menerus (continuous presence), penguasaan efektif (effective
occupation), dan pelestarian ekologis (ecology preservation)[1] yang telah dilakukan oleh
pemerintah Malaysia, hal ini terjadi akibat kurangnya perhatian pemerintah dan
masyarakat Indonesia terhadap Sipadan dan Ligitan.
Lepasnya
Sipadan dan Ligitan merupakan pembelajaran yang amat penting dalam menjaga
kedaulatan NKRI. Jangan sampai bangsa kita mengulang kesalahan yang sama dan
membiarkan daerah-daerah potensial di Indonesia dikuasai dan diolah oleh negara
lain. Pembangunan nasional secara adil dan merata memang tidak mudah dilakukan
di Indonesia, mengingat struktur geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan
pulau –termasuk pulau kecil dan terpencil- yang tingkat aksesbilitasnya sangat
rendah, sehingga sulit untuk dilakukan pembangunan.
Pulau-pulau
terdepan dan perbatasan di Indonesia yang berjumlah 92 pulau memiliki nilai
strategis secara politik, ekonomi, geografi maupun sosial-budaya, selain itu
masyarakat di wilayah perbatasan mengemban beban yang cukup berat, yaitu
mempertahankan daerahnya agar tetap satu dalam naungan NKRI. Mereka yang
tinggal di wilayah perbatasan cenderung menggantungkan kehidupannya di negara
tetangga yang berbatasan dengan wilayah tempat tinggal mereka. Apabila hal ini
terus menerus dibiarkan maka jangan heran apabila nantinya akan terjadi
pengulangan pengalaman pahit seperti Sipadan dan Ligitan, yang dapat
menggoyahkan ketahanan dan integritas nasional. Lalu apa yang dapat dilakukan
agar kekhawatiran-kekhawatiran ini jangan sampai terjadi?
Hal
yang paling sederhana yang dapat dilakukan adalah membangkitkan kesadaran dalam
diri masing-masing masyarakat Indonesia, bahwa kita memiliki keluarga di
wilayah perbatasan. Timbulnya kesadaran ini diharapkan akan diikuti dengan meningkatnya
perhatian terhadap wilayah perbatasan dan mendorong adanya gerakan nyata untuk
membangun Indonesia melalui beranda terdepannya. Salah satu upaya agar
timbulnya kesadaran ini adalah dengan mengenal wilayah perbatasan melalui film
dokumenter yang diproduksi oleh Indonesia Maritime Institute (IMI) berjudul
“Jurnal dari Pulau Terluar”, yang mengangkat kondisi di Pulau Marore, Sulawesi
Utara, yang berbatasan dengan negara Filipina.
Dalam
film ini kita akan melihat, sesungguhnya terdapat banyak fasilitas dan sarana
yang telah dibangun untuk menunjang kehidupan perekonomian di Marore. Namun
sayangnya, fasilitas dan sarana tersebut tidak terpakai secara maksimal dan
sebagian telah rusak, salah satunya adalah pelabuhan. Konstruksi pelabuhan
merupakan kunci utama untuk melakukan aktivitas di Marore. Kondisi pelabuhan
yang tidak maksimal menyebabkan mobilitas penduduk terbatas dan jadwal kapal
seringkali tidak menentu, sering terjadi kekosongan jadwal pelayaran, yang
menyebabkan terhambatnya proses distribusi dan aktivitas perekonomian warga
setempat. Kondisi pasar tradisional sepi, masyarakat cenderung memenuhi
kebutuhan sehari-hari dari warung-warung kecil yang hampir di dominasi oleh
produk-produk dari Filipina. Belum ada perjanjian khusus yang mengatur perdagangan
antara wilayah border crossing area Indonesia – Filipina,
namun apabila merujuk pada peraturan kepabeanan seharusnya barang yang masuk
tanpa pencatatan yang jelas dianggap ilegal. Longgarnya pengawasan terhadap
barang yang keluar masuk tercermin dari kantor bea cukai yang kosong. Kita
tidak boleh mempersalahkan warga setempat yang menggantungkan kehidupannya pada
produk negara tetangga, ini harus menjadi bahan introspeksi bagi diri kita
sendiri dan pemerintah. Sudahkah kita menyadari dan memperhatikan kehidupan
keluarga kita di wilayah perbatasan? Sudahkah terwujudnya sila ke-5 Pancasila,
“keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”?
Tidak
hanya realita perekonomian, dalam film ini kita juga dapat melihat bagaimana
TNI bertugas di garda perbatasan, kondisi terumbu karang dan sumber daya alam
yang belum terolah dengan baik, serta fasilitas kesehatan dan pendidikan di
Marore.
Setelah
menonton dan berdiskusi mengenai film ini, diharapkan kemudian akan timbul
kesadaran dan perhatian lebih dalam diri ‘kita’ terhadap wilayah perbatasan
NKRI yang dapat mendorong aksi nyata untuk melakukan pembangunan di garda
terdepan Nusantara. (LHK – Komunitas Sabantara)
[1] http://www.pdfqueen.com/pdf/pu/pulau-pulau-kecil-terluar/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar